Polemik Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) terus bergulir setelah Presiden Joko Widodo resmi menekan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera. Gelombang penolakan terus terjadi, lantaran PP tersebut akan mewajibkan perusahaan memotong gaji pekerja swasta. Nantinya para karyawan bakal mendapatkan potongan gaji sebesar 3% sebagai iuran Tapera, dengan rinciannya 2,5% ditanggung pekerja dan 0,5% menjadi tanggung jawab perusahaan pemberi kerja. Kewajiban iuran Tapera diyakini bakal menambah beban kelas menengah di Indonesia, lantaran daftar potongan gaji yang diterima karyawan semakin panjang.
Dari perincian pasal 7 PP No. 21/2024 menjelaskan bahwa pekerja yang masuk kategori peserta Tapera adalah calon pegawai negeri sipil (PNS), pegawai aparatur sipil negara (ASN), prajurit TNI, prajurit siswi TNI, anggota Polri, pejabat negara, pekerja/buruh BUMN/BUMD, pekerja/ buruh BUMDES, pekerja/buruh BUM swasta dan pekerja yang tidak termasuk pekerja yang menerima gaji atau upah. Dalam PP tersebut, pemberi pekerja harus menyetorkan dana Tapera dilakukan paling lambat tanggal 10 setiap bulannya.
Tapera diluncurkan sebagai bentuk gotong royong, di mana setiap pekerja diwajibkan menyisihkan sebagian kecil potongan dari gajinya untuk tabungan perumahan. Dana yang terkumpul kemudian dikelola oleh Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP TAPERA) untuk membantu pembiayaan rumah bagi mereka yang memenuhi syarat. Program ini seolah olah menawarkan harapan bagi masyarakat yang ingin memiliki rumah dengan cara yang lebih terjangkau.
Dengan tujuan mulia menyediakan akses perumahan yang layak, Tapera diharapkan menjadi angin segar bagi mereka yang kesulitan memiliki rumah sendiri. Namun, seiring berjalannya waktu, muncul berbagai pertanyaan mengenai efektifitas dan dampak nyata dari program ini. Apakah Tapera bener-bener membawa manfaat, atau justru menjadi beban baru bagi masyarakat?
Tapera menjadi bukti negara tidak memiliki politik penyediaan rumah bagi rakyat, dan juga bukti kebijakan zalim karena memberatkan rakyat di tengah banyaknya potongan dan pungutan untuk rakyat ( macam-macam pajak, iuran BPJS) dan Tapera juga bukan solusi untuk kepemilikan rumah, namun menjadi jalan menguntungkan pihak tertentu.
Nampaknya kezaliman ada dalam isi PP Nomor 25 Tahun 2020 tersebut, antara lain, Pembayaran tabungan ini wajib atas semua pekerja di Indonesia yang memiliki penghasilan, bahkan yang sudah memiliki rumah sekalipun. Demikian juga bagi yang masih menyicil rumah tetap wajib setorTapera. Kemudian tidak ada jaminan setiap peserta akan memiliki rumah, karena targetnya adalah memberikan pinjaman kredit rumah hanya untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang berpenghasilan maksimal Rp 8 juta per bulan dan 10 juta per bulan untuk wilayah Papua Papua Barat, minimal harus sudah menjadi peserta selama 12 bulan, itupun masih dengan syarat-syarat lainnya.
Ditambah lagi dengan adanya sanksi administratifpun yang akan dijatuhkan jika peserta tidak melakukan pembayaran. Jadi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah dengan adanya PP ini bukan memudahkan, tapi sebaliknya tetap kesulitan untuk mendapatkan rumah yang murah dan layak untuk ditempati. Jelas sekali bahwa Tapera bukan solusi tapi ilusi.
Inilah salah satu kezaliman negara yang dilegalkan dengan aturan resmi berupa PP Nomor 25 Tahun 2020 akan ada sanksi untuk peserta yang tidak membayar iuran. Kezaliman berupaya pemaksaan bahkan dapat dikatakan pemalakan harta rakyat. Kemudian bagi rakyat miskin yang tidak memiliki penghasilan tetap, tidak termasuk di dalam target PP tersebut.
Pastilah bagi mereka akan lebih sulit untuk mendapatkan rumah sebagai tempat tinggal. Padahal mereka yang paling membutuhkan rumah, merekalah yang seharusnya dijamin pemenuhan kebutuhan pokok berupa rumah dari pemerintah, akan tetapi pemerintah abai.
Abai dan zalimnya pemerintah yang terjadi hanya ada dalam sistem kapitalis sekuler. Pemerintah tidak hadir sebagai pelayan umat. Dalihnya melayani tapi justru memalak rakyatnya dengan berbagai potongan. Sekulerisme yang menjadi dasar kehidupan, benar-benar tidak peduli halal haram, hanya materi dan manfaat yang menjadi tujuannya.
Islam Sebagai solusi
Bahwasannya dalam Islam, pemimpin hadir untuk memberi layanan sebaik mungkin. Yaitu mengurus urusan rakyat, bukan hanya mengeruk keuntungan dari rakyat. Rasulullah Saw bersabda, Imam (Khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya. (HR Bukhari).
Rumah adalah salah satu kebutuhan dasar bagi rakyat. Sudah seharusnya penyelenggara perumahan rakyat sepenuhnya menjadi tanggungan negara, tanpa imbalan dan iuran wajib, semua ditanggung negara. Negara bukan pengumpul dana rakyat. Tugas negara memenuhi kebutuhan rakyat.
Negara bisa memberikan kemudahan pembelian tanah dan bangunan, juga bisa membangun perumahan rakyat dengan harga yang sangat terjangkau. Negara memenuhi kebutuhan pokok lainnya, seperti sandang dan pangan dengan menerapkan kebijakan pangan yang murah. Para pencari nafkah juga akan mudah dalam mengakses dan mencari pekerjaan karena negara berkewajiban menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat.
Tugas seorang pemimpin adalah memberikan kenyamanan bagi rakyatnya, termasuk dalam perkara kebutuhan rumah. Jangan sampai kebijakannya justru menyusahkan rakyat sebagaimana sabda Nabi Saw dalam riwayat Muslim. Dari 'Aisyah berkata, Rasulullah Saw bersabda, Ya Allah, barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas ia membuat susah mereka, maka susahkanlah ia. Dan barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas ia mengasihi mereka, maka kasihilah ia.
Islam menjadikan rumah sebagai kehormatan yang wajib dijaga dan dilindungi. Para ulama di masa lalu telah menuturkan kebijakan Khilafah tentang pembangunan rumah tempat tinggal dengan memperhatikan prinsip tersebut. Mulai dari pemilihan lokasi, ketinggian rumah, jumlah kamar, teras, pagar hingga ventilasi pun diatur oleh Islam. Kebijakan ini telah diterapkan oleh para khalifah pada masa lalu. Soal lokasi, sebaiknya jauh dari masjid. Pertama, karena kawasan deket masjid akan menghalangi perluasan masjid. Kedua, karena makin jauh, makin besar pahalanya. Juga termasuk kawasan yang bersih dan lingkungan yang baik.
Pemenuhan kebutuhan papan masyarakat akan terselenggara dengan benar dan tepat tatkala sistem Islam kaffah dapat terwujud dengan sempurna dengan hadirnya negara Khilafah. Di bawah asuhan kapitalisme, peran negara tidak lagi ideal. Dengan penerapan syariat Islam, fungsi negara bisa kembali normal di tengah kehidupan yang berasas sistem sekuler kapitalisme. Wallahu a'lam bishawab. []
Oleh: Sudarti (Aktifis Muslimah Purbalingga)

COMMENTS