Setiap tanggal 25 november hingga tanggal 10 desember 2022 berlangsung kampanye hari anti kekerasan terhadap perempuan (HAKtP).Kegiatan tersebut kampanye internasional bertujuan mendorong upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Kampanye ini secara internasional pertama kali dilakukan pada tahun 1991. Di Indonesia komnas perempuan mulai menggaungkan kampanye serupa sejak 2001.
Kampanye berlangsung selama 16 hari dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Mengingat tanggal 25 november adalah hari internasional untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan tanggal 10 desember adalah hari HAM internasional. Juga dalam rentang 16 hari tersebut ada serangkaian peringatan khusus pada tanggal tertentu. Tanggal 29 November diperingati sebagai hari Hari Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia, 1 Desember sebagai Hari AIDS Sedunia, tanggal 9 Desember Hari Pembela HAM Sedunia.
Tema yang diusung pada Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2022 atau yang disingkat K16HAKTP 2022 yakni “Ciptakan Ruang Aman, Kenali UU TPKS”. Hal itu dimaksudkan untuk mengenalkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang baru disahkan pada 12 April 2022 tersebut kepada masyarakat. Komisioner komnas perempuan berharap dengan mengenali dan memahami UU TPKS ini masyarakat lebih menghormati perempuan dan bisa menekan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan.
UU TPKS adalah undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana kekerasan seksual. Adanya UU ini, harapannya bisa melindungi korban kekerasan seksual. Dalam sidang paripurna, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengatakan bahwa UU TPKS merupakan landasan yang utuh, adil, dan formil bagi para korban kekerasan seksual. Dengan kata lain, UU ini mampu memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, khususnya korban kekerasan seksual.
Terdapat sembilan tindak pidana kekerasan seksual. Yaitu pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
UU TPKS memberikan denda dan pidana terhadap pemaksaan hubungan seksual dan tindak pemaksaan perkawinan, baik pelakunya individu maupun lembaga. Terdapat ancaman pidana tambahan pula bagi pelaku TPKS yaitu pencabutan hak asuh anak atau pengampunan, pengumuman identitas pelaku, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dan pembayaran restitusi.
Menurut data simfoni kemenpppa sepanjang tahun 2022 (januari hingga awal desember 2022 tulisan ini dibuat) tercatat 23870 jumlah kasus kekerasan, dengan 21709 jumlah korban perempuan. Dua tertinggi yaitu 10116 kasus kekerasan seksual dan 8364 kasus kekerasan fisik. Sebanyak 14594 kasus kekerasan tersebut terjadi di rumah tangga. Jumlah yang fantastis. Walaupun data yang bertambah banyak bisa juga menunjukkan bahwa kasus yang terungkap semakin banyak karena korban berani melapor sebab sudah merasa ada kepastian hukum bagi korban.
Disahkannya UU TPKS ini memberi angin segar bagi korban kekerasan seksual termasuk korban kekerasan seksual dalam rumah tangga. Tapi menyisakan persoalan kejahatan seksual yang belum termuat di UU ini seperti perzinahan dan penyimpangan seksual. Padahal perilaku seks bebas dan penyimpangan seksual L68TQ ini sudah sangat meresahkan masyarakat dan kasusnya semakin banyak. Baik dilakukan dengan kekerasan ataupun tidak, hal itu tetaplah kejahatan seksual.
Sehingga hadirnya UU TPKS tidak dapat menyelesaikan permasalahan. Justru yang dikhawatirkan terjadi adalah keresahan dan kehancuran keluarga bahkan generasi. Perilaku kejahatan seksual tidak dikenai hukuman sebab berdasar kerelaan dan dipayungi hak kebebasan, tanpa ada aturan. Kita perlu jeli melihat nuansa sekuler liberal dalam UU ini.
Dalam sistem islam untuk kasus kejahatan seksual baik secara preventif maupun kuratif, ada tiga mekanisme.
Pertama, menanamkan akidah yang kuat pada individu masyarakat, dan keyakinan menerapkan aturan Allah sebagai aturan terbaik bagi kita makhlukNya. Penjagaan akidah inilah yang mengontrol individu muslim dalam masyarakat untuk melakukan amal shalih dan menjauhi amal salah. Syariat islam mengenai menutup aurat dan menundukkan pandangan akan menutup celah bagi aktivitas yang mengumbar aurat atau sensualitas di tempat umum. Kejahatan seksual bisa terpicu rangsangan dari luar yang kemudian memengaruhi naluri seksual (gharizah an-nau’).
Kedua, islam mengatur interaksi laki-laki dan perempuan selain di sektor yang memang membutuhkan interaksi tersebut, seperti pendidikan (sekolah), ekonomi (perdagangan, pasar), dan kesehatan (rumah sakit, klinik, dan sebagainya). Islam tidak mengekang perempuan, akan tetapi mengatur sedemikian rupa untuk memuliakannya.
Islam memiliki sistem kontrol sosial dalam bentuk amar makruf nahi mungkar. Islam mendorong saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, juga mengajak menghindari segala bentuk kemaksiatan.
Ketiga, Islam memiliki sistem sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Contohnya, sanksi bagi pelaku tindak perkosaan berupa had zina, yaitu rajam (dilempari batu) hingga mati jika pelakunya muhshan (sudah menikah); dan jilid (cambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah). Hukuman tegas ini akan memberikan efek jera (zawajir) kepada si pelaku sekaligus penghapus dosa (jawabir) ketika sampai waktunya pada Yaumil Hisab nanti.
Dengan solusi ini, perempuan akan hidup terhormat terbebas dari kekerasan dan kejahatan. Tidak hanya perempuan saja, tapi juga untuk semua isi bumi. Sebab islam rahmatan lil 'alamin. []
Oleh: Iffah Wardatun Hamro (Eterna Foundation Purbalingga)

COMMENTS