![]() |
| Rif'an Wahyudi |
ETERNANEWS.COM, “Struktur pendapatan dalam APBN di negara-negara kapitalis adalah mengandalkan penerimaan dari sektor pajak, termasuk Indonesia. Target pajak dari tahun ke tahun terus dinaikkan, sampai mendekati 80%. Meskipun capaiannya selalu di bawah itu. Artinya ekspektasi penerimaan negara di atas penerimaan riel. Artinya, harus selalu nomboki untuk menutupi kekurangan anggaran,” ujar ekonom Rif’an Wahyudi kepada ETERNANEWS (9/101/2017).
Rif’an memaparkan pajak terus digenjot dengan intensifikasi pajak (optimasi penerimaan dari wajib pajak, baik pajak penghasilan maupun pajak pertambahan nilai) dan ekstensifikasi pajak (menjaring wajib pajak baru atau memunculkan jenis pajak baru, misalnya dari e-commerce dan pajak kekayaan).
“Berarti, semakin banyak jenis pajak, semakin tercekik rakyat dan pengusaha di negeri ini. Misal lagi pajak pph final 1 % untuk semua jenis usaha yang omzetnya di bawah 4,8 milyar setahun, akan menggaruk pengusaha gurem dan mikro dengan membayar 1% seperti toko kelontong, bengkel motor, salon, padahal margin profitnya tidak besar,” tuturnya.
“Kalau pengusaha besar yang memiliki konsultan, tinggal membebankan kepada konsumen. Justru hal ini menimbulkan high cost economy, yang menjadikan Indonesia kalah bersaing,” kata dia.
Ia menambahkan struktur APBN yang memasukkan pengelolaan sumber daya alam yang dikelola negara, akan menjadikan devisa menggunung dan Pemerintah tidak lagi menggantungkan kepada penerimaan dari sektor pajak.
“Ibarat pengelolaan sumberdaya alam merupakan sumber penghasilan besar dan mengalir terus, sedangkan pajak hanyalah uang recehan,” ungkapnya.
Menurutnya sangat tepat kondisi ini diibaratkan peribahasa 'mengharapkan burung yang terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan'. Saatnya beralih dari tukang palak recehan, menjadi pemilik sejati kekayaan yang berlimpah. [joe]

COMMENTS