Nyatanya hari ini harga rumah semakin mahal. Menurut survei Bank Indonesia
(BI) menunjukkan adanya kenaikan harga properti residensial di pasar primer
pada kuartal I 2024 dibanding tahun sebelumnya. Kalau kita cek harga rumah di
situs properti semisal Rumah123.com, harga hunian tipe 36/60 di kota besar
kisaran Rp500 jutaan. Yang mana beberapa tahun lalu, harga rumah dengan tipe
itu masih pada kisaran Rp400 jutaan.
Demikianlah
adanya, harga rumah semakin jauh dari jangkauan rakyat miskin. Bahkan, kalangan
menengahpun tidak mudah untuk memiliki rumah. Mayoritas masyarakat (kurang
lebih 75%) bisa membeli rumah melalui mekanisme KPR karena tidak mampu membeli
secara tunai. Bahkan menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyatakan bahwa
masyarakat Indonesia memang makin sulit untuk memiliki rumah.(CNBC Indonesia,
8-7-2022)
Penyebab rumah
mahal yang pertama tentu karena inflasi. Harga bahan bangunan dan jasa tukang
semakin meningkat setiap tahunnya. Tingginya permintaan atau kebutuhan akan
rumah juga bertambah seiring laju pertumbuhan penduduk. Sedangkan jumlah
penawaran dinilai kurang. Pemerintah kemudian meluncurkan program rumah murah.
Salah satunya pembangunan rumah murah di kawasan Villa Kencana, Cikarang,
Bekasi, Jawa Barat. Sayangnya program ini nampak seperti kurang tepat sasaran.
Perumahan yang
diresmikan oleh presiden Jokowi tahun 2017 ini diperuntukkan bagi masyarakat
berpendapatan rendah (MBR) dengan uang muka sekitar Rp1,12 juta dan cicilan
sekitar Rp750 ribu—900 ribu per bulan. Program rumah mumrah ini diklaim sebagai
bentuk keberpihakan pemerintah terhadap kebutuhan dasar rakyat, khususnya
rakyat miskin. Tapi ternyata setelah tujuh tahun, saat ini banyak rumah yang terbengkalai
dan tidak ditempati pemiliknya. Rumah-rumah subsidi itu bukan tidak terjual,
tetapi pemiliknya bukanlah orang yang benar-benar membutuhkan rumah untuk
tempat tinggal, melainkan untuk investasi. Tidak heran jika banyak rumah
subsidi yang tidak ditempati dalam waktu yang lama sampai ditumbuhi semak
belukar, bahkan rusak.
Fenomena ini akan
tetap terus terjadi karena negara tidak benar benar hadir mengurusi rakyat sebagai pelayan rakyat atau dalam kata lain
tidak bervisi riayah. Negara hanya menjalankan peran regulator dan menyerahkan
eksekusinya pada operator yang biasanya adalah swasta atau korporasi. Pihak pengembang
swasta mendapat privilse lahan dan sedikit banyak mendominasi dalam penyediaan
rumah seperti penentuan harga rumah dan sebagainya.
Disinilah
perlunya peran negara dan penguasa sejati yang bervisi riayah, sebagaimana
prinsip prinsip dalam islam. Sistem islam menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok
setiap orang warga negara, maka itu menjadi tolak ukur kesejahteraan rakyat.
Tidak memandang kesejahteraan dari angka rata-rata pendapatan rakyat, misalnya.
Penguasa dalam islam bertanggung jawab kepada Allah atas kepemimpinannya.
Menjalankan pemerintahan dengan kacamata halal-haram atas dorongan iman. Sabda
Rasul saw., “Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab
atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari).
Dalam islam, negara akan turun tangan secara langsung dalam penyediaan rumah bagi rakyat. Pihak swasta bisa jadi tetap diberikan peluang bisnis perumahan akan tetapi menyesuaikan program pembangunan negara, tidak melanggar hak-hak kepemilikan umum, dan harus sesuai dengan syariat. Penggunaan lahan akan diatur dan dikelola dengan mempertimbangkan ketentuan ketentuan syara dan kemaslahatan umum. Tidak mudah membuat proyek pembangunan semata demi keuntungan materi saja.
Dari sisi politik ekonomi, sistem islam mampu dengan mekanismenya mencegah inflasi sehingga harga lahan, bangunan, dan upah tenaga kerja cenderung stabil. Penerapan ekonomi islam juga memungkinkan negara mendapatkan pemasukan yang berlimpah misalnya dari pengelolaan SDA yang merupakan harta kepemilikan umum. Sebab dalam islam harta kepemilikan umum adalah hak semua rakyat. Tidak untuk dikuasai oleh swasta atau korporasi. Sehingga pendapatan negara yang tinggi ini mampu membiayai kebutuhan pokok rakyat dan memfasilitasinya. []

COMMENTS