ETERNANEWS - Hari anak nasional (HAN) diperingati setiap tahunnya pada 23 Juli. Penetapan HAN didasari oleh Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pada 23 Juli 1979. Kemudian pada 1984, Presiden Soeharto menetapkan tanggal ini sebagai salah satu hari penting nasional.
Sejak 2020 tema Hari Anak Nasional yang diusung oleh kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak republik indonesia adalah "Anak Telindungi, Indonesia Maju". Pada tahun 2022 ini ditambah dengan menggunakan beberapa tagar yaitu #PeduliPascaPandemiCOVID19, #AnakTangguhPascaPandemiCOVID19, #AnakTangguhIndonesiaLestari.
Tujuan peringatan HAN diantaranya adalah pertama memperjuangkan hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan kehidupan yang layak.
Kedua, menjaga kesehatan fisik dan psikis anak-anak setelah pandemi covid-19. Ketiga, menghilangkan kekerasan terhadap anak-anak. Dan keempat, menurunkan angka pekerja anak di bawah usia 18 tahun.
Namun kekerasan pada anak masih saja terjadi di Indonesia bahkan semakin mengkhawatirkan. Dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat setidaknya terjadi 11.952 kasus kekerasan anak yang tercatat Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) sepanjang tahun 2021.
Sementara itu data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima pengaduan masyarakat terkait kasus perlindungan khusus anak tahun 2021 sebanyak 2.982 kasus. Sejak pandemi sebanyak 62% anak mengalami kekerasan verbal oleh orangtuanya selama berada di rumah. 11% nya mendapat kekerasan fisik. Dosen IPB fakultas ekologi manusia, Dr Yulina Eva Riany, mengungkap kondisi tersebut bisa terjadi dipicu keluarga dengan kondisi sosial ekonomi rendah karena tekanan sosial ekonomi seperti terlilit utang, rendahnya kemampuan ekonomi dan faktor lain sehingga menjadi penyebab tingginya tingkat stres pada orangtua.
Sebagaimana watak sistem kapitalisme yang berasas kapital atau keuntungan materi, Indonesia menerapkan peraturan perekonomian yang menguntungkan sebagian korporat dan elit. Kebijakan pengelolaan SDA misalnya, diberikan hak kepada siapapun untuk mengelola bahkan swasta asing. Sehingga pemanfaatan hasil pengelolaan SDA yang melimpah itu tidak dapat dinikmati rakyat sendiri. Penyerapan tenaga kerja pun bersaing dengan tenaga kerja asing. Padahal dalam islam, mestinya SDA tersebut dikelola negara, tidak boleh dimiliki atau dikelola individu. Hasilnya yang melimpah adalah hak semua rakyat, masuk ke dalam pendapatan negara.
Sayangnya pendapatan negara sebagian besar dari pajak. Sedangkan bagi kalangan masyarakat tertentu, membayar pajak ini itu menjadi beban tersendiri. Belum lagi biaya pendidikan yang tinggi juga menambah berat beban ekonomi. Kondisi ini diperburuk dengan pandemi yang membuat sebagian masyarakat kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Meningkatnya beban hidup seperti inilah yang menjadi faktor stres orangtua sehingga berdampak kepada anak dalam bentuk kekerasan.
Di sisi lain kasus kekerasan pada anak menempatkan anak juga sebagai pelaku, tidak hanya menjadi korban. Bullying atau perundungan kerap terjadi bahkan sampai merenggut nyawa. Sebagaimana pernyataan presiden Jokowi dalam perayaan Hari Anak Nasional 2022 bahwa merupakan tugas dan tanggungjawab bersama, orangtua, pendidik, sekolah, masyarakat untuk membebaskan anak dari segala bentuk bullying dan kekerasan anak. Agar anak-anak memiliki dunia bermain dengan keceriaan mereka.
Begitu memang teorinya, idealnya. Namun jika tanpa peran pemerintah apalah artinya. Negara berkewajiban melayani, mengayomi, dan bertanggungjawab menerapkan peraturan yang sesuai fitrah manusia. Islam memahami potensi anak dan menetapkan harus ada jaminan menyeluruh terhadap kebutuhan anak. Islam menetapkan pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang harus dijamin secara mutlak oleh negara. Setiap anak mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan. Tidak peduli muslim non muslim, kaya miskin, pintar atau biasa. Semua anak harus dapat mengakses pendidikan terbaik. Tentunya hal ini perlu disokong dengan sistem ekonomi yang kuat. Dan islam juga memiliki solusi mengatasi carut marut ekonomi.
Sistem pendidikan islam berasaskan aqidah islam, orientasi utamanya menghasilkan output berkepribadian islam. Kepribadian islam artinya cara berfikir dan cara bersikapnya adalah berdasar islam. Inilah pendidikan kepribadian yang sesungguhnya. Sebab muslim yang taat, yang cara berfikir dan bertindaknya memperhitungkan halal haram. Sehingga kehidupan islam yang sejahtera tercapai dari individu yang shalih, masyarakat, dan negara yang berperan menetapkan kebijakan. []
Penulis: Iffah Wardatun Hamro (Eterna Foundation Purbalingga)

COMMENTS