![]() |
| Fajar Afifudin |
BANGKITPOS.COM, Dalam ruang ekonomi, saat ini negeri ini berkiblat pada neo-imperialisme dan neo-liberalisme dalam bingkai ideologi kapitalisme. Negeri ini sekarang berada dalam cengkeraman neo-liberalisme dan neo-imperialisme, yang menjadi penyebab terpuruknya perekonomian.
“Neo-liberialisme dengan gagasan dasar agar negara tidak mempunyai peran dalam mengatur masyarakat. Ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, negara hanyalah regulator, dan kedepannya mengarah kepada corporate state. Karena pada ujungnya pemenangnya adalah para pengusaha dengan adanya regulasi dari negara,” ujar Analis LARAS Fajar Afifudin kepada BANGKIT POS (11/10/2017).
Regulasi tersebut, menurut Fajar berupa undang-undang liberal yang tidak pro rakyat. Inilah kombinasi antara pengusaha dengan para politikus, dan kadang dibantu oleh pihak asing maupun aseng.
“Terbukti dengan adanya catatan pengamat Universitas Airlangga Surabaya Bambang Budiono MS, M. Sosio yang mengatakan 72 undang-undang di Indonesia diintervensi asing. Contohnya World Bank pada UU BOS, UU PNPM; IMF pada UU BUMN (No 19/2003), UU PMA (No 25/2007) dan USAID pada UU Migas (No 22/2001),” imbuhnya.
Dia menambahkan tentang neo-imperialisme atau penjajahan gaya baru, jika dulu menjajah dengan penjahan fisik, serta rakyat sadar secara langsung jika dijajah.
“Maka neo-imperialisme saat ini sesungguhnya lebih berbahaya, karena banyak masyarakat yang belum sadar jika dijajah. Substansinya juga sama, jika dulu mengambil rempah-rempah, menancapkan kekuasaaan (glory), penyebaran ajaran tertentu (gospel). Sedangkan sekarang juga terjadi eksploitasi kekayaan alam, menancapkan demokrasi, liberalisme, kapitalisme dan lainnya yang nyatanya menyesatkan dan menyengsarakan rakyat.” lanjutnya.
Fajar menambahkan, dampak neo-imperialisme bisa terlihat, rupiah yang melemah, defisit luar biasa dalam neraca transaksi berjalan, kekayaan alam dirampok, utang menumpuk, daya beli rendah, PHK dan lain-lain.
“Ditambah dengan solusi hanya berkemungkinan menarik sebanyak-banyak investor, atau utang luar negeri. Wajar jika ada kemungkinan pajak akan kian bertambah, seiring dengan kondisi ekonomi yang kian menurun,” jelasnya.
Menurutnya, alih-alih pemerintah menawarkan kebijakan sebagai stimulus ekonomi guna perbaikan ekonomi, justru hasilnya akan sama saja, dan bahkan kian parah, jika neo-liberalisme dan neo-imperialisme tetap bercokol di negeri ini. [rudi]

COMMENTS