![]() |
| Fajar Kurniawan |
“Upah nominal tinggi tidak berarti sama sekali apabila buruh masih harus menanggung beban ekonomi yang mahal untuk kehidupan sehari-harinya seperti biaya sekolah dan kesehatan yang mahal. Disebabkan kegagalan pemerintah menjaga stabilitas harga dan pelayanan publik.” kata Fajar kepada BANGKIT POS Ahad (20/8).
Menurutnya dasar yang memicu konflik buruh dan pengusaha sendiri, disebabkan oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost (biaya hidup) terendah.
“Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Maka tidak heran namanya Upah Minimum. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu yang minimum sekedar untuk mempertahankan hidup mereka.” ujarnya.
Fajar menyampaikan dalam dimensi pengusaha atau pemilik mempekerjakan buruh dengan upah seadanya sesuai kemampuan pengusaha, sehingga tidak jarang upah buruh yang sudah minim dipotong sana sini bahkan di tunda pembayarannya gara-gara alasan ketidakmampuan pemilik modal.
“Pemerintah belum melakukan langkah-langkah konkrit yang dapat melindungi masyarakat, seperti skema perlindungan sektor tenaga kerja dan membatasi tenaga kerja asing masuk ke Indonesia. Saat ini buruh merasakan dampak langsung diberlakukannya MEA maupun kebijakan pencabutan subsidi di sana sini.” tegasnya. [san]

COMMENTS