Salah satu cabang ilmu yang sangat penting dalam praktik kehidupan Islam adalah tafsir Alquran. Bagi muslim menjadikan Alquran sebagai pedoman dan petunjuk hidup adalah kewajiban yang mutlak. Sebab itulah mengerti makna dan konsekuensi hukum Islam dalam setiap ayat dan keseluruhan isi di Alquran menjadi prasarat utama. Tafsir adalah jawaban bagi muslim agar bisa mengerti maksud serta kandungan pelajaran di dalam Alquran.
Tafsir secara etimologi berwazan taf’iil, berasal dari fassara-yufassiru-tafsiiran yang berari al-idhah, al-syarh dan al-bayan (penjelasan atau keterangan). Ia juga berarti al-ibanah (menerangkan), al-kasyf (menyingkap) dan izhhar al-ma’na al-ma’qul (menampakan makna yang rasional). Secara terminologi adalah upaya untuk menjelaskan tentang arti atau maksud dari firman-friman Allah SWT sesuai dengan kemampuan mufassir.
Dalam praktiknya terdapat dua aliran besar dalam penafsiran Alquran yaitu tafsir bil ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi. Tafsir bil ma’tsur (dengan riwayat) adalah aliran tafsir dengan cara menafsirkan ayat dijelaskan dengan ayat, ayat dijelaskan dengan hadits, ayat dijelaskan dengan pendapat sahabat dan tabi’in. Sedangkan tafsir bi al-ra’yi (akal pikiran) adalah aliran tafsir dengan cara menafsirkan ayat dijelaskan dengan logika, ilmu dan ijtihad. Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Muqaddimati fi Ushuli al-Tafsir ditegaskan bahwa salah tafsir yang dilarang oleh Nabi SAW adalah tafsir bi al-ra’yi almahdh.
Dilihat dari sisi kecenderungan hasil dalam penafsiran Alquran dapat dikatakan memiliki beragam corak, pendekatan atau karakteristik. Hal demikian diasumsikan karena latar belakang kemampuan, perbedaan misi atau motivasi sang mufassir, ragam ilmu yang mengilhami atau juga lingkungan, situasi serta kondisi penafsiran tersebut dibuat. Sebagai contoh corak filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak sufi/tasawuf dan corak fiqhi atau hukum, corak adabi ijtima’i.
Corak fiqhi atau hukum adalah bentuk dari penafsiran Alquran dengan menggunakan pendekatan hukum sehingga hasilnya juga berkaitan dengan urusan-urusan hukum. Contoh tafsir fiqhi dalam mazhab hanafi antara lain: Ahkam al-Qur’an karya Ali al-Qumi (350 H), Ahkam al-Qur’an karya al-Jassas (370 H), Takhlis Ahkam al-Qur’an karya Ibn Siraj al-Qunawi (770 H) dan at-Tafsirat al-Ahmadiyyah fi Bayan al-Ayat ash-Shar’iyyah karya Ahmad bin Abu Sa’id al-Hanafi (1130 H).
Contoh tafsir fiqhi dalam mazhab maliki antara lain: Ahkam al-Qur’an karya Ismail bin Ishaq al-Maliki (282 H), Ahkam al-Qur’an karya Abu Bakar bin Muhammad al-Baghdadi (305 H), Ahkam al-Qur’an karya Ibnu al-‘Arabi (543 H) dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi (671 H).
Contoh tafsir fiqhi dalam mazhab syafi’i antara lain: Ahkam al-Qur’an karya Imam Syafi’i (204 H), Ahkam al-Qur’an karya Ibrahim bin Khalid al-Baghdadi (240 H), al-Qaul al-Wajiz fi Ahkam al-Kitab al-‘Aziz karya Shihabuddin as-Samin (756 H), al-Iklil fi Istibat al-Tanzil karya Jalaluddin as-Suyuti (911 H) dan Hidayah al-Hayran fi Ba’di Ahkam Tata’llaq bi al-Qur’an karya Abdullah bin Muhammad at-Tablawi (1027 H).
Contoh tafsir fiqhi dalam mazhab hanbali antara lain: Ahkam al-Qur’an karya Abu Ya’la Muhammad bin al-Farra’ (458 H) dan Ihkam al-Ra’i fi Ahkam al-Ay karya Shamsuddin Muhammad bin Abdurrahman al-Hanbali (776 H).
Corak sufi/tasawuf adalah bentuk dari penafsiran Alquran dengan pendekatan tasawuf sehingga hasilnya akan banyak memuat berkaitan dengan hal yang metafisik atau supranatural. Contoh tafsir bercorak sufi antara lain: Kitab tafsir Haqa'iq At Tafsir karya Abu Abdurrahman As Sulami, Al Kasyf wa Al Bayan karya Ahmad bin Ibrahim an-Naisaburi, Tafsir Ibn Arabi karya Ibnu Arabi, dan Ruh Al Ma'ani fi Tafsir Alquran Al Azim wa As Sab'i Al Masani karya Syihabuddin Mahmud Al Alusi, Tafsir Al-Quran al-Adzim – Sahl ibn Yunus al-Tustari (203-283 H), Haqaiq al-Tafsir – Muhammad ibn Husain al-Sulami (330 – 412 H), Lata‘if al-Isharat (Tafsir al-Qushayri) – ‘Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qushayri (w. 465 H), Tafsir al-Qur’an al-‘Azim – Ibnu ‘Arabi (560-638 H), ‘Ara’is al-Bayan fi Haqa’iq al-Qur’an – Abu Muhammad Ruzbihan Ibn Abi al-Nasr al-Shirazi (w. 666 H), Al-Ta’wilat al-Najmiyah – Najm al-Din Dayah (w. 654 H) & ‘Ala’ al-Dawlah al-Samnani (659-736 H), Ghara’ib al-Qur’an wa Ragha’ib al-Furqan – Nizam al-Din al-Hasan ibn Muhammad al-Naysaburi, Ruh al-Ma’ani – Shihab al-Din al-Sayyid Muhammad al-Alusi al-Baghdadi (1217-1270 H), Tafsir al-Azhar – Abdul Malik Karim Amrullah (Buya HAMKA) (1908-1981 H).
Corak filsafat atau teologi adalah bentuk dari penafsiran Alquran yang menggunakan pendekatan cara berfikir dalam berfilsafat. Contoh tafsir bercorak filsafat antara lain: Mafatih Al-Ghaig karya Fakhr al-Razi (w. 606 H), Al-Isyarat karya Imam al-Ghazali (w. 505 H), Fushush al-Hikam karya al-Farabi (w. 339 H), Rasail Ibn Sina karya Ibn Sina (w. 370 H).
Corak ilm’ (ilmiah) adalah bentuk dari penafsiran Alquran yang menggunakan pendekatan ilmpu pengetahuan. Contohnya antara lain: Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an karya Thanthawi Jauhari, Tafsir al-Ilmi li al-Ayat al-Kauniyah fi al-Qur’an karya Hanafi Ahmad, Tafsir al-Ayat al-Kauniyah karya sunan Dr. Abdulllah Syahatah, Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Corak adabi ijtima’i adalah bentuk dari penafisran Alquran yang menggunakan pendekatan budaya dan sosial kemasyarakatan. Sebagai contah dari karekteristik tafsir bercorak ini adalah Tafsir al-Manar karya Syaikh Muhammad Abduh.
Pembahasan berikutnya dalah berkaitan dengan metode tafsir yang merupakan kerangka atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran. Selain itu ada juga istilah seni atau teknik penafsiran yakni cara menyajikan atau memformulasikan tafsir tersebut serta cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang telah tertuang di dalam metode. Kemudian ada juga metodologi tafsir yaitu pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran Alquran. Secara umum ada empat jenis metode tafsir di kalangan khazanah keilmuan Islam antara lain: meotde ijmali, metode tahlili, metode muqarin/muqaran dan metode mawdhu’i. Pada perkembangannya dianggap ada penambahan metode tafsir kelima yang disebut hermeneutika.
Metode Ijmali (global) adalah metode tafsir yang tidak memberikan rincian yang memadai serta berkembang pada masa Nabi SAW dan para shahabat sehingga disebut sebagai metode tafsir Alquran yang pertama kali muncul. Contoh: Tafsir al-Jalalain Imam al-Suyuthi & al-Mahalliy, Taj al-Tafsir Imam al-Mirghami, Al-Tafsir al-Farid li Alquran al-Majid Muhammad Abd al-Mun’im, Tafsir al-Munir li Mu’allim al-Tanzil karya Muhammad Nawawi al-Bantani, Tafsir al-Wadhih karya Muhammad Mahmud Hijazi, Tafsir al-Wafiz fii Tafsir Alquran al-Karim karya Syauq Dhaif, Fath al-Bayan fii Maqashid Alquran karya Mujtahid Shiddq Hasan Khan, Tafsir Alquran al-Karim karya Mahmud Muhammad Hadan ‘Ulwan dan Muhammad Ahmad Barniq, Tafsir Alquan al-Karim karya Muhammad Farid Wajdi.
Metode Tahlili (analisis) adalah metode menafsirkan Alquran yang berusaha menjelaskan Alquran dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Alquran, sesuai dengan urutan Alquran. Berkembang selanjutnya pada bentuk penafsiran berupa al-ma’tsur dan al-ra’yi. Contoh kitab tafsirnya seperti: Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas oleh Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi (penyusun), Jami’ul Bayan fii Tafsir Alquran karya Ibn Jarir al-Thabari, Tafsir Alquran al-‘Azhim Ibn Katsir, Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, Al-Bahr al-Muhit karya Ibn Hayyan, Al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa ‘Uyun al-‘Aqawil fii Wujuh al-Ta’wil karya Al-Zamakhsyari.
Metode Muqarin/Muqaran (perbandingan) adalah upaya yang dilakukan oleh mufasir dalam memahami satu ayat atau lebih kemudian membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema tapi redaksinya berbeda, atau memiliki kemiripan redaksi tapi maknanya berbeda, atau membandingkan dengan teks hadits Nabi SAW, perkataan sahabat dan tabi’in. Contohnya seperti Durrat at-Tanzil wa Qurrat at-Ta’wil karya besar al-Khatib al-Iskafi (w. 420 H/1029 M), Al-Burhan fi Taujih Mutasyabih al-Quran (Bukti Kebenaran dalam Pengarahan Ayat-ayat Mutasyabih al-Quran) karya Taj al-Qarra’ al-Kirmani (w. 505 H / 1111 M), Al-Jami’ li Ahkam al-Quran karya al-Qurtubi (w. 671 H), Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim oleh Ibnu Katsir, Adhwa Al-Bayan Fi Idhah Al-Qur’an bi Al-Qur’an oleh Asy-Syanqithi, Tafsir At-Tafasir oleh Abu Abdirrahman Ibnu Uqail Azh-Zhahiri, Tafsir al-Maraghi dan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur`an, Jami’ul Bayan fii Tafsir Alquran oleh Ibn Jarir al-Thabari, dan kemudian salah satu karya tafsir Muqaran yang lahir di zaman modern adalah Qur’an and Its Interpreters oleh Prof.Mahmud Ayyub.
Metode Mawdhu’i (tematik) adalah mengumpulkan ayat-ayat Alquran yang berbeda-beda dari surat-surat dalam Alquran yang berhubungan dengan satu tema tertentu kemudian menafsirkannya sesuai dengan kaidah penafsiran dan tujuan Alquran. Contohnya seperti: Tafsir Alquran al-Karim karya Mahmud Syaltut, Tafsir Surat Yasin dengan Keterangan karya A. Hassan, Al-Insan fii Alquran karya Abbas Mahmud al-Aqqad, Al-Riba fii Alquran karya Abul A’la al-Maududi, Wawasan Alquran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Permasalahan Umat karya M. Quraish Shihab, Nahwa Tafsiril Mawdhu’I fi Tafsiril Qur’anil Karim karya Muhammad al-Ghazali, Al-Mar’ah fii Alquran karya Muhammad al-Ghazali bersama Muhammad Sayyid Thantawi serta Ahmad Umar Hasyim.
Metode Hermeneutika adalah salah satu dari usaha untuk memahami teks yang mengarah dan melihat dari segi aspek kontekstual, sejarah, penulis, serta kondisi sosial psikologis sang penulis ketika menulis. Mereka berdalil dengan al-Islam shalih li kulli zaman wa makan. Asumsi dasar dari metode ini adalah bahwa pemahaman dengan menggunakan metodologi konvensional terhadap sumber dan ajaran Islam kurang relevan untuk konteks sekarang. Asumsi bahwa ada perbedan masalah di berbagai tempat terpisah dan waktu yang berbeda. Al-waqa’i ghair muta’addidah (permasalahan tidak terbatas) sementara ayat Alquran terbatas.
Ide dasar hermeneutika Alquran yaitu adanya tipologi pemikiran tafsir Alquran. Pertama, pandangan quasi-obyektivis tradisionalis yaitu pandangan bahwa ajaran-ajaran Alquran harus dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada masa kini, sebagaimana ia dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi, di mana Alquran diturunkan kepada Nabi SAW dan disampaikan kepada generasi Muslim awal. Ciri utama dari model penafsiran kelompok ini dalah penafsiran yang tekstual (literal).
Kedua pandangan subyektivis yakni semua penafsiran sepenuhnya merupakan subyektivitas penafsir, dan karena itu kebenaran interpretatif bersifat relatif. Setiap generasi umat manusia, khususnya umat Islam mempunya hak untuk menafsirkan kembali Alquran sesuai dengan perkembangan zaman. Alquran dapat ditafsirkan dengan ilmu-ilmu bantu yang berkembang pada era sekarang tanpa harus melibatkan metode konvensional.
Ketiga pandangan quasi-obyektivis modernis yakni suatu pemahaman terhadap Alquran dengan menggunakan metode konvensional yang telah ada, seperti: asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabah dan lain-lain yang terdapat dalam ‘ulum Alquran dengan tanpa mengabaikan perangkat metode baru modern/kontemporer seperti ilmu-ilmu eksakta maupun non eksakta (hermeneutika).
Tipologi ini memiliki kesamaan dengan tipologi quasi-obyektivis tradisionalis dalam hal bahwa mufassir di masa kini tetap berkewajiban untuk menggali makna asal dengan menggunakan di samping perangkat metodis ilmu tafsir, juga perangkat-perangkat metodis lain, seperti informasi tentang konteks sejarah makro dunia Arab saat penuruan wahyu, teori-teori ilmu bahasa dan sastra modern dan hermeneutika. Perbedaannya adalah bahwa aliran quasi-obyektivis modernis memandang makna asal (sesuatu yang bersifat historis) hanya sebagai pijakan awal bagi pembacaan Alquran di masa kini; makna asal literal tidak lagi dipandang sebagai pesan utama Alquran. Pandangan ini sama sekali tidak mengabaikan teks dan kontekstualitas Alquran. Contoh: Faziur Rahman dengan konsepnya double movement. Muhammad al-Thalibi dengan konsep al-Tafsir al-Maqashid. Nashr Hamid Abu Zayd dengan konsepnya al-Tafsir al-Siyaqi (taksir kontekstual).
Berkaitan dengan metode tafsir hermeneutika ini, menurut pandangan penulis tidak bisa digunakan sebagai metode dalam penafsiran Alquran. Sebenarnya butuh ada ruang tersendiri yang panjang lebar untuk membahasnya secara detail. Akan tetapi secara singkat, salah satu alasan kuatnya adalah karena dengan metode penafsiran ini akan berpotensi kuat terjadi dekonstruksi syariah (perubahan hukum-hukum Islam) yang telah menjadi kesepakatan dari para ulama dan kaum muslimin secara umum. Allahu a’lam bi al-shawab.
Penulis: Lutfi Sarif Hidayat (Eterna Foundation Purbalingga)

COMMENTS