Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) kembali memberikan remisi khusus
(RK) Idul Fitri bagi para narapidana (napi) muslim. Total ada 146.260 di antara
196.371 napi muslim yang mendapatkan fasilitas pengurangan masa pidana.
Sebanyak 661 napi di antaranya langsung bebas . Di antara jumlah tersebut, 208 napi kasus korupsi di
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, juga menerima
RK Idul Fitri 1444 H. Salah satunya adalah eks Ketua DPR Setya Novanto yang
mendapat remisi satu bulan. Terpidana kasus korupsi megaproyek KTP elektronik
itu diketahui divonis 15 tahun penjara. Mantan ketua umum Partai Golkar
tersebut mulai menjalani masa pidana di Sukamiskin pada Mei 2018.
Andri Sobari alias Emon, narapidana perkosaan dan
pencabulan terhadap 120 anak di Sukabumi tahun 2014, juga bebas setelah
mendapat remisi. Dia menghirup udara bebas dari Lapas Kelas I Cirebon pada pada
tanggal 27 Februari 2023 lalu. Emon awalnya mendapatkan putusan pidana 17 tahun
dan 6 bulan penjara dari majelis hakim PN Sukabumi. Artinya, ia hanya menjalani
masa bui separuh dari vonis. Emon disangkakan Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selama menjalani tahanan, Emon
mendapatkan remisi atau pengurangan hukuman 40 bulan 120 hari.
Selain itu, kasus kejahatan luar biasa (extraordinary
crime) seperti korupsi hingga terorisme seringkali mendapatkan 'obral' remisi
dari pemerintah. Data Kemenkumham mencatat total 635 narapidana kasus korupsi
mendapat remisi umum pada momentum HUT RI pada 2021 dan 2022 silam. Dari jumlah
itu, delapan napi korupsi langsung bebas. Sementara data Indonesian Corruption
Watch (ICW) tahun 2019 mencatat sebanyak 338 napi korupsi dapat remisi di
peringatan HUT RI.
Pada September 2022 lalu, Kemenkumham juga membuat gempar
usai membebaskan bersyarat 23 narapidana kasus korupsi. Para koruptor yang
mendapatkan pembebasan bersyarat itu di antaranya mantan Gubernur Banten Ratu
Atut Chosiyah dan adiknya Tubagus Chaeri Wardana, mantan Gubernur Jambi Zumi
Zola, mantan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar, mantan Menteri Agama
Suryadarma Ali, dan mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Kemenkumham juga mencatat sebanyak 50 narapidana
terorisme (Napiter) mendapatkan remisi pada momentum HUT RI pada tahun 2021
lalu. Dari total 50 napiter itu, delapan napi diantaranya dinyatakan bebas.
Dalam konteks napiter, kasus paling kakap dan menjadi perhatian bahkan hingga
negara tetangga adalah Umar Patek. Dia divonis 20 tahun penjara Juni 2012
karena terlibat dalam kasus bom Bali yang menewaskan 202 orang, tapi bebas pada
Desember 2022, atau hanya menjalani bui 10 tahun dan enam bulan. Lagi-lagi
karena ia mendapat sejumlah remisi.
Menurut Pasal 1 Ayat 1 Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun
1999 Tentang Remisi Remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada
narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana
terkecuali yang dipidana mati atau seumur hidup. Sedangkan menurut Pasal 1 Ayat
6 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan Remisi adalah pengurangan masa pidana yang
diberikan kepada narapidana dan pidana yang telah memenuhi syarat – syarat yang
ditentukan dalam peraturan perundang – undangan yaitu; berkelakuan baik , telah
menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan, bersedia bekerjasama dengan
penegak hukum, telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan
putusan pengadilan, serta telah mengikuti program deradikalisasi (upaya untuk
menetralisir paham-paham radikal).
Diskon Hukuman Terlalu Murah?
Potongan masa tahanan
seolah mudah didapat oleh narapidana di Indonesia sebab dalam aturannya para
narapidana memang berhak mendapatkan remisi. Asalkan telah memenuhi berbagai
syarat seperti berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari enam
bulan. Permenkumham Nomor 7 tahun 2022 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian
Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti
Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat menjelaskan terdapat beberapa kategori
remisi.
Pertama, remisi umum atau remisi yang rutin diberikan
tiap HUT Kemerdekaan RI di tanggal 17 Agustus tiap tahunnya. Kedua, remisi
khusus atau remisi diberikan pada saat hari besar keagamaan tiap tahunnya.
Remisi ini diberikan bagi napi beragama Islam pada Hari Raya Idulfitri, napi
beragama Kristen Protestan dan Katolik pada Hari Raya Natal, napi beragama
Hindu pada hari raya Nyepi, napi beragama Buddha pada hari raya Waisak. Tak
cuma remisi umum dan khusus, Pemerintah juga mengatur soal remisi tambahan. Remisi
tambahan mengatur besaran remisi bisa diberikan 1/2 sampai 1/3 dari remisi umum
yang diperoleh pada tahun berjalan sesuai syarat berlaku.
Pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi tiga jenis
kejahatan luar biasa yakni narkoba, korupsi, dan terorisme awalnya diperketat
lantaran diberi syarat tambahan. Syarat tambahan ini tertuang dalam PP Nomor 99
tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Aturan
ini biasa dikenal dengan 'PP aturan ketat remisi koruptor' yang mengatur narapidana
terorisme, narkotika, korupsi bisa mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat
jika menjadi justice collaborator atau membantu membongkar kasus yang dilakukan
dan membayar lunas denda dan uang pengganti.
Namun, Pada Oktober 2021 lalu Mahkamah Agung (MA) justru
mencabut syarat ketat remisi yang tertuang pada pasal-pasal di PP 99 Tahun 2012
tersebut. MA mencabutnya melalui putusan perkara yang diketok pada 28 Oktober
2021. Hasilnya PP 99 Tahun 2012 pun dibatalkan, sehingga semua terpidana kasus
kejahatan berat berhak mendapatkan remisi dan tak perlu lagi menjadi justice
collaborator. Dengan dicabutnya pasal di atas oleh MA, maka pemberian remisi
kembali merujuk pada PP 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan dengan tidak memandang jenis kejahatan yang
dilakukan. Syarat pemberian remisi bagi semua napi itu antara lain berbuat jasa
kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau
kemanusiaan; atau melakukan perbuatan yang membantu kegiatan Lapas.
Pakar hukum tata negara
dari Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah mengamini bahwa keputusan MA
membatalkan pasal di PP Nomor 99 Tahun 2012 itu membuat nihilnya aturan yang
secara ketat membatasi pemberian remisi bagi pelaku korupsi, narkotika, hingga terorisme.
Senada dengan pakar hukum pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia Suparji
Ahmad yang menilai sebaiknya pemberian remisi bagi tindak pidana kejahatan luar
biasa bisa lebih selektif bahkan dapat dikecualikan. Ia mengatakan harus ada
perubahan aturan terlebih dulu bila ingin mengecualikan remisi bagi tindak
pidana luar biasa.
Suparji pesimistis napi kejahatan luar biasa yang telah
dihukum penjara bisa dengan cepat mengubah perilakunya. Baginya, ada peluang
bagi napi itu melakukan kembali tindakannya di masa akan datang bila tak jera
dengan hukuman penjara. Ia mencontohkan napi kekerasan seksual bisa saja
menunjukkan perilaku baik selama di penjara sehingga dapat remisi. Namun, ia
tak jamin perilaku predator seksualnya di waktu mendatang berpeluang memakan
korban kembali.
Pemberian Grasi dan Polemiknya
Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan,
pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang
diberikan oleh Presiden. Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam
bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau
penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian
grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait
dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur
tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk
memberikan ampunan.
Selama 2 periode kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo
sudah memberikan grasi kepada sejumlah narapidana. Diantaranya presiden Jokowi
memberikan grasi berupa pengurangan hukuman enam tahun kepada mantan Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar pada awal Januari 2017. Grasi
itu membuat hukuman yang diterima Antasari berkurang, dari 18 tahun menjadi 12
tahun.
Grasi juga didapatkan Neil Bantleman. Pria
berkewarganegaraan Kanada ini adalah mantan terpidana kasus dugaan kekerasan
seksual terhadap sejumlah pelajar di Jakarta International School (kini Jakarta
Intercultural School) atau JIS. Mantan guru JIS itu sebelumnya divonis 11 tahun
penjara dalam kasus kekerasan seksual itu. Akan tetapi, Presiden Jokowi
memberikan grasi kepada Neil dengan memangkas masa hukumannya menjadi 5 tahun 1
bulan, dan denda pidana senilai Rp 100 juta. KPAI pun menyesalkan hal ini
karena dianggap melukai upaya serius pemerintah dalam melindungi anak dari
kekerasan seksual.
Presiden Jokowi juga memberikan grasi kepada koruptor
kasus alih fungsi lahan di Provinsi Riau sekaligus mantan gubernur Annas Maamun.
Grasi yang diberikan kepada Annas berupa pemotongan masa hukuman selama satu
tahun dan membayar hukuman denda sebesar Rp 200 juta. Hal ini menuai kritik
dari sejumlah pihak termasuk KPK yang akan mempelajari surat yang dikirim oleh
Lapas Sukamiskin tersebut. Grasi tersebut dimuat dalam Keputusan Presiden Nomor
23/G Tahun 2019 tertanggal 25 Oktober 2019. Adapun Annas menjadi tahanan sejak
25 September 2014. Annas didakwa secara kumulatif terkait penerimaan suap untuk
tiga kepentingan berbeda. Dikutip dari kompas.com menurut Kepala Bagian Humas
dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Ade
Kusmanto menceritakan garis besar surat permohonan Annas Maamun. Dalam surat
permohonannya, Annas merasa dirinya sudah uzur, sakit-sakitan, renta, dan
kondisi kesehatannya mulai menurun.Meski begitu, penyidik Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) kembali menangkap Annas pada Maret 2022 setelah bebas karena
grasi. Penyebabnya adalah Annas masih berstatus sebagai tersangka dalam kasus
suap terkait RAPBD Perubahan Tahun 2014 dan RAPBD Tambahan Tahun 2015 di
Provinsi Riau.
Kemudian yang terbaru Presiden Jokowi memberikan grasi
kepada terpidana mati kasus narkoba Merri Utami. Jokowi memberikan grasi dengan
mengubah hukuman mati kepada Merri yang sudah 22 tahun menanti eksekusi menjadi
penjara seumur hidup. Merri Utami merupakan terpidana mati dalam kasus 1,1
kilogram heroin yang diungkap di Bandara Soekarno Hatta 2001 silam. Ia dijatuhi
hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang karena kedapatan membawa heroin
saat pulang dari Taiwan. Namun, Komnas Perempuan saat itu menyebut Merri Utami
sebagai korban perdagangan orang. Sebab, Merri hanya dititipkan tas di Nepal
oleh kekasihnya Jerry.
Kelemahan Hukum Sekuler
Sudah sejak lama sistem
hukum dan peradilan negeri ini karut-marut. Hukum mudah dipermainkan. Lembaga
peradilan menjadi alat untuk menindas yang lemah, tetapi sering tidak berdaya
ketika berhadapan dengan orang yang kuat, apakah pejabat atau orang-orang kaya.
Suap-menyuap dan kongkalingkong menjadi hal biasa di lembaga peradilan, dari
tingkat rendah hingga tingkat tinggi. Dalam pelaksanaannya pun, peradilan di
negeri ini sering berbelit-belit, bertele-tele. Akibatnya, suatu perkara baru
bisa selesai diproses di pengadilan setelah memakan waktu berbulan-bulan,
bahkan bertahun-tahun.
Tidak aneh jika bahkan di Mahkamah Agung kasus-kasus
semakin menumpuk tak tertangani. Belum lagi banyaknya kasus yang menguap begitu
saja karena banyaknya tangan-tangan yang bermain. Umumnya hal itu terkait
dengan kasus-kasus besar yang melibatkan para pejabat dan orang-orang besar,
seperti konglomerat. Biasanya kasus-kasus besar tersebut tak jauh-jauh dari
kasus korupsi dan suap-menyuap yang sering merugikan rakyat banyak, karena
mengakibatkan miliaran bahkan triliunan uang rakyat raib.
Kasus-kasus di lapangan pun menunjukkan betapa banyak maling/penjahat
kecil yang harus rela menerima perlakuan kasar. Sebaliknya, orang-orang kaya
mendapatkan penghormatan. Mereka mendapatkan berbagai fasilitas yang tidak
mungkin bisa dinikmati oleh rakyat jelata. Sementara itu, banyak orang yang
seharusnya diproses secara hukum, malah tak tersentuh. Tak mengherankan bila
banyak kalangan mengatakan ada tebang pilih dalam penegakan hukum di Indonesia.
Kendati ada jargon ‘hukum sebagai panglima’, kenyataan
menunjukkan, masyarakat belum merasakan dampak dari penerapan hukum yang ada.
Banyak orang dihukum, tetapi kejahatan tetap saja berlangsung. Kualitas dan
kuantitasnya justru kian meningkat. Penjara tidak membuat jera para narapidana.
Ditambah mudahnya memberikan potongan hukuman (remisi) dan adanya peluang mengajukan
pengampunan (grasi) dari presiden. Jumlah napi kian banyak. Data april 2023
menyebutkan jumlah narapidana di Indonesia ada lebih dari 275.000 orang.
Sebegitu banyak yang dipenjara, nyatanya tak mengurungkan niat bagi yang
lainnya untuk tidak berbuat jahat/kriminal. Sebagian mantan narapidana tambah
merajalela begitu keluar penjara karena seolah telah mendapatkan ‘pendidikan’
kejahatan yang lebih baik dari sesama narapidana di dalam penjara. Yang lebih
parah lagi, belakangan banyak penjahat narkoba beroperasi dari dalam penjara.
Para koruptor pun tak lagi takut penjara. Buktinya
korupsi masih menggurita. Jumlah anggota DPR yang masuk penjara terus bertambah
dari waktu ke waktu. Demikian juga para birokrat dan mantan pejabat. Tidak
hanya dilakukan sendiri, korupsi seolah telah menjadi pekerjaan bersama
sehingga muncul istilah ‘korupsi berjamaah’. Pungutan liar alias pungli menjadi
budaya sehari-hari. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid dalam suatu kesempatan
pernah menyatakan bahwa hukum tidak berjalan di negeri ini. Hukum hanya berlaku
bagi orang-orang tertentu dan terkait kepentingan-kepentingan politik. Kondisi
itu tidak terlepas dari banyaknya undang-undang, perda dan aturan lain yang
bertentangan satu dengan yang lain.
Relativisme Hukum Pasti Tak Adil
Munculnya ketidakadilan hukum yang diterapkan di negeri
ini sebenarnya wajar, mengingat proses pembuatan hukum itu sendiri tidak
dilandasi oleh pijakan yang kuat. Hukum lahir dari sebuah konsensus sejumlah
pihak pada waktu tertentu dan masa tertentu. Kelahirannya dipengaruhi oleh
kondisi ketika hukum itu dirumuskan. Tidak mengherankan bila hukum yang
dihasilkan tidak bisa lepas dari situasi yang terjadi dan hanya pas pada
situasi tersebut. Hukum ini tidak mampu menjangkau masa berikutnya, baik yang
dekat maupun masa yang jauh ke depan. Begitu situasi berubah, hukum menjadi
tidak relevan.
Inilah salah satu kecacatan hukum sekuler ini. Akal
manusia yang menjadi sumber pijakan penentuan hukum sangat terbatas. Otak
manusia tak bisa menjangkau hal-hal yang terjadi jauh ke depan. Di sisi lain,
manusia memiliki interest (kepentingan), baik pribadi maupun kelompok. Atas
dasar ini, wajar bila hukum yang dihasilkan oleh rekayasa pemikiran manusia
semata akan menghasilkan ketidakadilan. Sebab, sejak awal hukum itu dibuat
untuk menguntungkan si pembuatnya; minimal tidak menjadi bumerang baginya.
Walhasil, hukum sekuler menjadi sangat relatif. Hukum sangat bergantung pada
siapa yang berkuasa dan kepentingan-kepentingan yang dibawa. Persamaan di depan
hukum menjadi tidak ada, sebab sejak lahirnya memang hukum itu tidak
diperuntukkan bagi semua.
Apa yang terjadi di DPR bisa menjadi bukti nyata.
Lihatlah beberapa hukum dan peraturan negara sering sekali berubah dan berganti
setiap ada pergantian wakil rakyat. Mengapa? Karena wakil rakyat memiliki
kepentingan yang harus diakomodasi—khususnya kepentingan partai. Mereka merasa
mempunyai hak untuk itu karena demokrasi memegang prinsip ‘vox populi vox dei’
(suara rakyat adalah suara tuhan). Padahal belum tentu aspirasi mereka adalah
suara rakyat yang sebenarnya, kecuali hanya klaim.
Prinsip sekuler, yakni memisahkan agama dari kehidupan,
inilah yang menjadi biang bercokolnya hukum yang tidak adil. Prinsip-prinsip
hukum sangat mudah berubah, tergantung kekuatan, kekuasaan dan modal. Tidak ada
pijakan. Kalaupun ada pijakan, hal itu sangat mudah dirobohkan. Dengan paham
relativisme hukum ini, tidak ada kebenaran yang hakiki. Semua bergantung pada
kondisi dan kepentingan. Inilah hakikat kecacatan dan kelemahan hukum sekuler
dalam menciptakan keadilan. []
Penyusun: Iffah Wardatun Hamro (Eterna Foundation Purbalingga)

COMMENTS