| Achmad Resa |
ETERNANEWS.COM - Sekitar 1443 tahun yang lalu, sebuah sejarah besar dalam peradaban Islam terjadi, yaitu hijrahnya kaum Muslimin dari Makkah ke Madinah. Salah satu sebab kuat yang melandasi hijrah tersebut adalah sikap kaum kafir Quraisy terhadap kaum Muslimin yang semakin lalim sehingga mereka tidak lagi tenang di kota Makkah. Oleh karenanya, demi kemaslahatan kaum Muslimin, mereka hijrah ke kota Yathrib yang saat ini kita kenal dengan nama Madinah Munawwarah.
Terlepas dari fakta sejarah di atas, hijrah pada hakikatnya adalah suatu tuntutan para anbiya` terdahulu. Nabi Muhammad shalla-Llâhu ‘alayhi wasallam bukanlah nabi pertama yang melakukan hijrah. Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, dan Nabi Musa ‘alayhim al-salâm adalah contoh daripada anbiya` yang berhijrah. Hijrah para anbiya` dilakukan untuk kepentingan dakwah tauhid. Manakala dakwah terancam, maka para anbiya` harus meninggalkan tempat lama menuju tempat yang baru. Hal ini juga diikuti oleh para ulama` yang berhijrah saat kondisi mereka mulai terancam.
Dengan hijrahnya para anbiya` dan para ulama`, mereka menemukan lahan baru yang lebih aman untuk melaksanakan amanah dari Allah subḥânahu wata’âlâ, yaitu menegakkan Tauhid. Selain mendapat rasa aman yang lebih, ruang lingkup dakwah mereka pun menjadi semakin luas. Lain kata, para anbiya` dan ‘ulama` menebar spirit positif di tempat baru mereka.
Lalu, dengan kondisi yang damai di zaman kita saat ini, apakah hijrah masih relevan?
Saya kira, sampai hari akhir pun hijrah akan selalu relevan. Apabila nyawa atau keimanan kita terancam di suatu daerah, maka kita diharuskan berhijrah menuju tempat yang lebih aman. Hal ini berkebalikan dengan tafsiran yang kurang tepat mengenai hadits Nabi shalla-Llâhu ‘alayhi wasallam yang mengatakan bahwa tidak ada hijrah setelah fathu Makkah. Hijrah yang dimaksud disini adalah hijrah dari Makkah ke Madinah.
Kita yang saat ini sudah hidup di daerah yang cukup aman, seperti di Indonesia masih tetap dapat berhijrah. Kita boleh jadi aman secara fisik dari gangguan atau serangan-serangan, akan tetapi itu tidak menjamin jiwa kita atau ruh kita aman seutuhnya. Bisa jadi, secara fisik kita aman, akan tetapi jiwa kita sebenarnya ditindas oleh hawa nafsu yang selalu meningkat dari waktu ke waktu.
Mari Merefleksi Diri
Mumpung lagi tahun baru hijriyah, boleh nih kita ambil semangat hijrah para anbiya` dan ‘ulama` terdahulu. Kita mungkin tidak akan berhijrah literally seperti mereka. Akan tetapi, kita bisa berhijrah dari tahun 1442 menuju tahun 1443 yang lebih baik, dari ‘aku’ yang begini menuju ‘aku’ yang begitu, atau apalah versi teman-teman.
Mari kita mencoba mengambil evaluasi kita selama tahun 1442. Evaluasi disini bukan berarti hanya kekurangan-kekurangan kita, akan tetapi juga pencapaian-pencapaian kita. Kita perlu melihat apa yang masih kurang agar dapat kita tingkatkan selanjutnya. Kita juga perlu mencatat pencapaian-pencapaian kita agar kita bersyukur kepada Allah subḥânahu wata’âlâ karena Dia mangizinkan kita untuk mancapainya. Selain itu, kita perlu mengapresiasi diri kita sendiri. Sepertinya kita, atau jangan-jangan saya sendiri aja kali ya, yang terlalu sering underestimate dan mencerca diri sendiri.
Yang paling utama, mari kita mulai dari ibadah. Mengingat tujuan penciptaan, manusia diciptakan untuk beribadah. Memang, makna ibadah tidak hanya berkisar pada yang mahdhah-mahdhah saja seperti shalat, puasa, zakat, atau haji. Mencari nafkah, belajar, dan berkarya pun dapat memiliki nilai ibadah. Akan tetapi kita akan menyorot yang mahdhah-mahdhah saja sebagai patokan awal kita.
Dari shalat fardhu, bagaimana sih kualitas shalat fardhu kita. Kalau saya yakin teman-teman pembaca udah nggak bolong nih sholatnya. Cuma, shalat kita on time gak sih, berjama’ah atau sendirian (bukan berarti jomblo atau berkeluarga ya), beneran sholat atau masih mikir urusan lain-lain selain sholat. Poin-poin lain mungkin masih banyak, tapi saya kira poin-poin itu cukup untuk merefleksi diri. Shalat sunnahnya gimana? Udah jalan belum? Kalau belum jalan, sebaiknya jangan terburu-buru menilai buruk diri sendiri. Setidaknya, kita sudah cukup baik dengan melaksanakan yang fardhu. Karena sudah ada kebaikan, ayo kebaikannya ditambah.
Lalu, bagaimana dengan puasa kita. Ramadhan tahun 1442 kita apakah benar-benar puasa atau hanya sekadar menggugurkan kewajiban? Puasa sunnahnya gimana? Bagi yang udah puasa sunnah, apresiasi diri kalian meskipun sebulan sekali atau mungkin cuma setahun sekali. Itu udah lebih baik lho daripada enggak sama sekali. Di tahun 1443, puasa sunnahnya perlu di-boost lagi biar lebih rajin. Tujuannya apa? Bukan buat banyak-banyakan jumlah puasa, tapi untuk melatih jiwa kita dari menahan, mulai dari menahan diri dari yang tidak patut, sampai membatasi diri pada hal-hal yang dibolehkan.
Begitu juga untuk ibadah-ibadah lain seperti sedekah, dzikir, membaca al-Qur`an, ini bisa dilihat dari dua sisi. Dari sisi negative, tentu saya pribadi masih jauh dari kualitas bagus. Tapi kalau mau dilihat sisi positif, bisa banget. Kita lihat aja berapa kali kita melakukannya. Kalau masih terhitung jarang, at least we did it. Dari kebaikan yang sedikit itu bisa dijadikan kebaikan yang lebih banyak kedepannya.
Lanjutan…
Nah, selanjutnya setelah kita bahas ibadah-ibadah mahdhah, kita bahas hal-hal lain, tapi mungkin ringkas aja ya. Mari kita catat pencapaian-pencapaian kita di tahun lalu. Disini saya ingin menekankan bahwa kita jangan sampai insecure dengan pencapaian kita. Jangan juga kita minder dengna teman-teman kita yang, kita anggap, sudah melebihi kita.
Perlu kita ingat, arah setiap orang berbeda. Selalu membandingkan pencapaian kita dengan orang lain sepertinya sangat tidak bijaksana. Istilah kata, kita membandingkan burung dengan ikan paus. Coba kita lihat pencapaian-pencapaian kecil kita dan memberinya sedikit apresiasi. Setidaknya ada hal kecil yang sudah kita lakukan. Sebagai contoh, kalau sepanjang 1442 kita membaca satu buku, itu sudah baik. Di tahun 1443, itu harus meningkat menjadi dua buku. Ini tidak hanya berlaku untuk membaca buku ya. Bayangkan jika kita konsisten melakukan peningkatan-peningkatan kecil dalam jangka waktu yang lama. Itu sangat luar biasa. Kita akan kaget ketika 10 atau 20 tahun mendatang melihat diri kita saat ini. Tapi dengan catatan selalu ada peningkatan sedikit demi sedikit secara konsisten.
Sebenarnya untuk menentukan turning time atau turning point tidak perlu menunggu waktu-waktu khusus. Namun, alangkah baiknya mumpung ada momentum besar dan bersejarah, dan kita manfaatkan. Kita ambil hikmah di balik tahun hijriyah sehingga kita dapat menjadikannya the turning time.
***
Penulis: Achmad Resa --- Klik
COMMENTS